oRa iSo ngAji nEng oRA Tau nGapuSi

BERJUANG DEMI MASYARAKAT

Kamis, 29 April 2010

Pengelolaan Keuangan Desa

UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah menyebutkan Desa (atau dengan nama lain) sebagai sebuah pemeintahan yang otonom. Untuk melaksanakan fungsinya, Desa diberikan dana oleh Pemerintah melalui pemerintahan atasan Desa. Oleh karena itu, Desa dibekali dengan pedoman dan petunjuk teknis perencanaan dan pengelolaan keuangan desa. Menurut IRE Yogyakarta good governance dalam pengelolaan keuangan desa meliputi:

  • Penyusunan APBDes dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
  • Informasi tentang keuangan desa secara transparan dapat diperoleh oleh masyarakat.
  • APBDes disesuaikan dengan kebutuhan desa.
  • Pemerintah Desa bertanggungjawab penuh atas pengelolaan keuangan.
  • Masyarakat baik secara langsung maupun lewat lembaga perwakilan melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah desa.

Diterbitkannya Permendagri No 32/2007 tentang pengelolaan keuangan desa memberikan landasan bagi semakin otonomnya desa secara praktik, bukan hanya sekedar normatif. Rilis aturan ini kemudian diikuti dengan rilis Permendagri No 66/2007 tentang perencanaan pembangunan desa, sehingga terdapat kesinambungan antara aturan mengenai perencanaan dengan pengelolaan keuangan desa. Beberapa pertanya kemudian muncul berkaitan dengan substansi, urgensi, dan relevansi keuda aturan tersebut dengan aturan yang telah dberlaku dan dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota, yang merupakan daerah otonom “atasan” dari desa. Beberapa Pemda telah pula menerbitkan Perda terkait pengelolaan keuangan desa ini. Pertama, apakah Permendagri 37/2007 ini sejalan dengan Permendagri 13/2006? Permendagri 13 tak ubahnya “kitab suci” bagi Pemda, sehingga kadangkala kelemahan/kekurangan/kesalahan dalam Permendagri tsb dipatuhi benar. Terbitnya Permendagri 59/2007 menunjukkan adanya kekurangan dalam Permendagri 13/2006. Pada bagian “Mengingat” Permendagri 37 disebutkan UU 32/2004, UU No.8/2005, dan PP No.72/2005, berbeda dengan Permendagri 13. Kedua, apakah pengaturan tentang penggunaan alokasi dana desa (ADD) oleh Desa dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten? Jika iya, maka akan mengurangi hakikat Desa sebagai Daerah yang otonom, tapi jika tidak, kemungkinan besar penggunaan ADD tidak ekonomis, efektif dan efisien, atau bahkan menyimpang dari aturan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ketiga, bagaimana peran dan fungsi kecamatan dalam pengelolaan keuangan desa tsb? Aparatur kecamatan akan merasa cemburu apabila alokasi ADD untuk Desa ternyata sangat besar, sementara untuk Kecamatan alokasi anggaran untuk program/kegiatan sangat kecil atau malah tidak ada. Ada anggapan bahwa kecamatan adalah “atasan” desa, sehingga Desa mestinya “bergantung” dan “mematuhi” instruksi dari kecamatan. Pada kenyataannya, pengaturan dalam Permendagri 37/2007 ini tidak menyinggung sama sekali hal itu. Keempat, apakah memang terdapat kesesuaian yang utuh antara Permendagri No.37/2007 dengan Permendagri No.66/2007? Seharusnya, apa yang direncanakan menjadi dasar untuk mengalokasikan dana yang dialokasikan mengingat Depdagri sendiri “menganut” pendekatan anggaran berbasis kinerja. Artinya, seperti halnya Permendagri 13 yang “mematuhi” UU No.32/2004, UU No.17/2003 dan UU No.25/2004, maka konsep kinerja juga mestinya dijelaskan terkait dengan aspek perencanaan. Nah, jika dicermati lebih jauh, ada beberapa hal dari Permendagri 37/2007 dan Permendagri 66/2007 tidak sinkron secara teknis. Kelima, apakah aparatur Desa, terutama Sekretaris Desa dan Bendahara, akan mampu melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban sesuai dengan yang diatur dalam Permendagri No.37/2007 tsb? Keterbatasan SDM dan kebiasaan yang berjalan selama ini harus dirubah dan diperbaikan sehingga kultur good government governance (3G) dapat merasuk ke dalam administrasi dan birokrasi desa. Keenam, secara teknis ada beberapa perbedaan antara Permendagri 37/2007 dengan Permendagri 13/2006. Di antara perbedaan tersebut adalah:

  1. Bendahara hanya satu, sementara di Permendagri 13 ada 2 (penerimaan dan pengeluaran);
  2. Tidak ada fungsi akuntansi. Dengan demikian, tidak ada laporan keuangan Desa.
  3. Kepala Desa tidak melimpahkan kewenangannya kepada bawahannya, kecuali kepada Sekretaris Desa selaku koordinator pengelola keuangan desa.
  4. Selain Sekretaris Desa dan bendahara, “pajabat” pengelola keuangan desa hanya diebutkan sebagai “perangkat desa lainnya.” Hal ini bisa menimbulkan interpretasi bahwa fungsi PPTK (dalam Permendagri 13) ditangani langsung oleh Kepala Desa atau Sekretaris Desa atau bendahara.

Beberapa persoalan lain akan muncul mengingat sangat beragamnya karakteristik Desa di Daerah. Dalam hal penentuan besaran ADD, misalnya. Apabila Pemerintah Kabupaten tidak bijak, dapat menimbulkan konflik antara Pemerintah Desa-Pemkab atau antar-Desa sendiri. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi dan kajian yang mendalam sebelum kebijakan tentang pengalokasian ADD dalam APBD dilakukan. Meskipun tidak ada formula bagi-bagi yang sempurna, setidaknya formula yang ditetapkan oleh Pemda nantinya bisa diterima oleh sebagian besar Desa.

Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Keuangan Desa

Beberapa Pemerintah Daerah telah menyusun peraturan daerah (Perda) tentang pengelolaan keuangan desa. Sebelumnya kabupaten hanya diharuskan membuat Perda tentang penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa pada tahun 2000. Beberapa di antara Perda keuangan desa yang dapat diunduh di internet adalah:

  • Kabupaten Badung, Bali:Perda No 17/2007 tentang Keuangan Desa;
  • Kabupaten Kerinci, Jambi: Perda no 6/2007 tentang Keuangan Desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar